DETIK-DETIK TERAKHIR NABI MUHAMAD SAW DAN MALAIKAT IZRAIL
DETIK-DETIK
TERAKHIR NABI MUHAMAD SAW DAN MALAIKAT IZRAIL
Keadaan Nabi
semakin tenat saja dari hari ke hari. Para sahabat sudah sangat cemas
semenjak malam Senin. Dan ketika Senin pagi Bilal mengalunkan
suaranya di Masjid Nabawi, memanggil umat Islam untuk menunaikan
solat subuh, hingga beberapa lama Nabi belum hadir juga. Bilal lalu
berangkat ke rumah beliu. Di sana ia berteriak, "
Assalamulaikum, ya Raullullah!". Nabi tidak menjawap.
Fathimah yang keluar. Alaikas-salam. Kalau ada perlu lain kali
saja. Rasulullah sedang panas badannya. Bilal tidak faham akan
jawapan Fathimah ini. Ia kembali ke masjid, menunggu kedatangan Nabi
samapi subuh mulai kuning. Waktu hampir terlambat. Maka Bilal kembali
ke rumah Rasulullah. "Assalamu alaika, ya Rasulullah, "
teriaknya. "Para makmum sudah menunggu. Telah kuning waktu
subuh. Nabi agak sedar. Dengan tersendat-sendat Nabi membalas
salam Bilal, lantas berkata, " Ya bilal, aku tahu fajar telah
mulai tiba. Beritahu Abu Bakar supaya menjadi imam dalam sembahyang
subuh pagi hari ini. Aku sedang parah, tidak mampu bangun." Bilal
menangis mendengar jawapan ini. Suara tersendat-sendat itu adalah
petanda sakit yang parah. Dengan langkah longlai tetapi terburu-buru
ia bergegas ke masjid. Di sampaikannya pesan jujungannya kepada Abu
Bakar. Maka Abu Bakar pun meju kedepan. Begitu melihat mihrab yang
kosong, Abu Bakar tergugup menangis. Mihrab itu biasanya tempat nabi
berdiri dengan gagahnya menjadi imam. Di situ biasanya Rasulullah
mengdengungkan ayat-ayat Al-Quran dengan suaranya yang nyaring dan
fasih. Peribadinya yang agung, bangun tubuhnya yang berwibawa,
terbayang semua pada saat itu. Kini mihrab itu kosong. Abu Bakar
menangis kembabali, dan seluruh sahabat juga menangis sehingga
suasana subuh hari itu dalam keadaan murung dan kehilangan. Semakin
siang, para sahabat berkumpul-kumpul menanti berita dari rumah
Rasulullah. Akhirnya seorang sahabat berseru memanggil Ali dan Fadlal
bin Abas. Yang lain-lain terteguh dan cemas. Jangan-jangan... Ali
Fadlal cepat-cepat ke rumah Nabi. Dengan langkah terseret-seret Nabi
keluar, dipapah oleh kedua sahabat itu. Tiba di masjid Nabi
bersembahyang sunat dua rakaat pendek saja solatnya kali ini. Sesudah
itu nabi menaiki mimbar. Kakinya berat sekali waktu mendaki tangga.
Badannya lemah. Dan kedua tangannya gementar gementar bertelekan
ketangan-tangan tangga itu. Di atas mimbar khutbah di hadapan
shabat-sahabatnya. Isinya singkat, namun meresap dan menggeletar hati
yang hadir. Air mata bercucuran tidak habis-habis.
"
Wahai, umat Islam. Kita hidup di bawah kekuasan Allah dan kasih
sayang-Nya. Bertaqwalah kepadanya dan taatilah
perintah-perintah-Nya".
Inilah isi khutbah beliu. Lalu
nabi turun. Hampir di bawah nabi nyaris jatuh. Untunglah Ali dan
Fadlal dengan cepat menangkapnya, langsung dipayang kembali menuju ke
rumah. setelah nabi tidak bangun-bangun lagi. Datanglah saatnya
Malaikat Izrail diperintahkan turun oleh Tuhan. "Masuklah kalau
kau diizinkannya. Kalau tidak baliklah kemari," begitu pesan
Allah kepada malakul-maut. "Berangkatlah dan muncullah dalam
rupa yang sopan dan rapi." Maka sang penyabut nyawa turun
sebagai seorang A'rabi, berpakaian putih-putih, baunya wangi. Tiba di
rumah Nabi Ia bersalam. "Selamat kepadamu, wahai penghuni rumah
kenabian." Nabi sedang payah. Fathimah yang menjawap."
Assalamualaikum, ya Rasulullah Salam sejahtera untukmu selamanya.
Bolehkah saya masuk?". Nabi membuka matanya mendengar suara
itu. Lalu ia betanya, "Anakku sayang, ada tetamu? Siapa yang di
pintu, hai Fathimah?.
Puteri itu menjawap: "Seorang
lelaki A'rabi, orangnya bersih dan rapi. Ia memanggil-manggilmu, dan
meminta izin untuk masuk. Saya bilang. Rasulullah sedang payah, saya
minta untuk kembali lain kali.
Tiba-tiba Nabi memandangi
Fathimah dengan tatapan yang menembus jauh. Di dalamnya nampak sinar
kelabu yang pekat dan mengabut Fathimah tergetar hatinya sehingga
menggigil sekujur badannya.
"Izinkan tamu itu masuk,
Fathimah. Tahukah kamu siapa dia anakku?. Fathimah menggeleng.
"Tidak," guamamnya. "Dia adalah penjemput
kenikmatan, pemutus nafsu syahwat dan pemisah pertemuan. Dia adalah
malakul-maut."
Fathimah menjerit " Ya Rasululluh.
Jadi semenjak hari ini aku tidak akan lagi mendengar suaramu dan
menandangi wajah jernih".
Nabi SAW, sebagai seorang ayah
yang pengasih ikut larut dalam kesedihan. Jangan menangis, jantung
hatiku. Engkau adalah keluargaku yang mula-mula akan bersama denganku
pada hari kiamat.'
Mendengar hal ini barulah Fathimah nampak
lega. Setelah itu malakul-maut pun masuk. Nabi bertanya, "Engkau
datang dengan tujuan apa?"
Izarail menjawap. "Saya
datang mahu ziarah. Juga mahu mencabut nyawa kalau tuan izinkan.
Tetapi kalau tidak saya akan balik lagi".
Nabi tersenyum
dan bertanya, "Engkau sendirian? di mana kau tingalkan
Jibrail?"
"Saya tinggal dia di langit dua, berserta
malaikat-malaikat lainnya." "Panggil dia
kemari." Malaikat Jibrail turun, duduk di sebelah kepala
Rasulullah. Nabi memandangi Jibrail beberapa lamanya. Dengan sayu
Nabi berkata " Hai Jibrail. Mengapa berlambat-lambat? Apa engkau
tidak tahu bahawa saat yang dijanjikan itu sudah hampir tiba?"
"Saya
tahu, saya tahu," sahut Jibrail tergagap." " Beri
aku berita bagaimana hakku di hadapan Allah nanti." kata
Nabi. Jibrail menjawap: "Pintu-pintu langit telah terbuka.
Para malaikat berbaris berlapis-lapis menunggu kehadiran rohmu.
Seluruh gerbang surga juga telah terbuka bagi tempat semayam
nyawamu." Mendengar berita ini Nabi masih suram. Wajahnya
tetap gelap dan gelisah. "Jibrail, bukan berita itu yang ku
inginkan. Beritahu aku betapa keadaan umatku esok pada hari kiamat?"
tanya nabi dengan cemas.
Jibrail menjawap, "Wahai,
Rasulullah. Tuhan berfirman! Aku haramkan surga dimasuki oleh para
nabi sampai engkau, Muhamad. masuk lebih dulu ke dalamnya. Dan aku
haramkan umat para Nabi masuk ke dalam syurga sampai umatmu, Muhamad,
masuk lebih dahulu ke dalamnya.
Barulah Nabi nampak
berseri-seri wajahnya. Beliau merasa aman dan tenteram kerana
ternyata umatnya mendapat hak serta tempat istimewa di hadapan Allah.
Mulutnya mulai memuncut itu menyungging senyum. Dan senyum itu
diberiaknnya juga kepada malakul-maut ketika beliu mempersilakan sang
pencabut nyawa untuk mendekat melaksanakan tugasnya.
Suasana
sedih menggantung berat di ruangan yang sempit itu Angin Kota Madinah
yang menyebarkan hawa dingin tetapi kering dan garan tambah menusuk
lagi hingga ketulang. Matahari sejengkal demi sejengkal makin tinggi,
sementara dengan segala perang perasaannya malakul-maut mulai
mencabut nyawa Nabi dari arah kepala. Nabimeregang-regang tatkala
nya beliu sampai ke pusat. Jidat dan sekujur mukanya bersimbah peluh.
Urat-urat di wajahnya menegang dari detik ke detik. Sambil bibirnya
tergigit Nabi berpaling ke arah JIbrail beliu menjerit, " Ya,
Jibrail, betapa sakit nian. Ohh, alangkah dahsyatnya derita
sakaratulmaut ini."
Jibrail cepat memaling muka. Hatinya
bergolak melihat peristiwa itu. "Ya, Jibrail, mengapa engku
berpaling? apa engkau benci melihat mukaku. Jibrail?" tanya Nabi
dengan cemas. "Tidak, Ya Rasulullah," sahut petugas
pembawa wahyu itu. Dipegangnya tangan Nabi sambil berkata,
"Siapakah yang tega hatinya menyaksikan kekasih Allah dalam
keadaannya semacam ini? Siapakah yang sampai hati melihat engkau
dalam kesakitan? Agaknya rasa sakit itu kian memuncak. Sekujur
badan Nabi menggigil. Wajahnya makin memmutih. Dan Urat-uratnya
tambah menegang. Dalam penanggungannya yang sangat. Nabi berteriak,
"Tuhanku, langkah sakitnya, wahai Tuhanku. Timpakanlah kesakitan
maut ini hanya kepadaku dan jangan kepada umatku." Jibrail
tersentak. air matanya serentak menitis. Begitu agungnya peribadi
sang Terpilih. Dalam detik-detik yang paling tenat dan tersiksa,
bukan kepentingan dirinya. Kepentingan umatnya yang didahulukan.
Andai kata Muhamad menuntut agar kesakitan itu dicabut, pasti tuhan
akan mengabulkan permintannya. Namun ia lebih memilih menjadi tumbal
agar derita itu jangan menekan umatnya. Makhluk mana yang memiliki
ketinggian budi semacam Muhamad.
Jibrail lantas teringat pada
waktu malaikat penjaga gunung minta izin kepada Nabi untuk
menghancurkan penduduk Thaif. Akan tetapi bumi, digoncangkan gempa
supaya mereka terbenam semua sebagai balasan bagi untuk tidak aniaya
mereka kepada Nabi. Namun, dengan sabarnya Muhamad menjawap. "Ah
jangan sekeras itu. Siapa tahu kalau bapa-bapa mereka tidak mahu
masuh Islam, anak-anaknya bakal mahu? Dan jika anak-anaknya bakal
mahu? Dan jika anak-anaknya tidak mahu juga, ku harapkan cucu-cucu
mereka akan menerima Islam sebagai agamanya."
Pada waktu
Jibrail menyedari kembali akan keadaan sekelilingnya, malakul-maut
telah merenggut nyawa Nabi sampai ke dada. Nafasnya Nabi dengan suara
menggigil dan pandangan yang redup, menenguk ke arah
sahabat-sahabatnya dan berkata, "Uushiikum bissholaati wa maa
malakat aimaanukum. Aku wasiatkan kepadamu sembahyang dan orang-orang
yang menjadi tanggunganmu. Budakmu pembantumu, peliharalah merek
baik-baik."
Kemudian keadaan pun tambah menggawat. Para
sahabat sudah berpeluk-pelukan satu sama lain, saking tidak kuat
menahan kesedihan. Badan Nabi berubah menjadi dingin. Hampir
seluruhnya tidak bergerak-gerak lagi. Matanya yang berkaca-kaca hanya
terbuka sedikit. Mata itu menatap kelangit, jari-jarinya tertegak
dengan kaku.
Pada saat menjelang akhir nafas beliau, Ali bin
Abi Thalib menampak Nabi menggerakkan bibirnya yang sudah biru dua
kali. Cepat-cepat Ali mendekatkan telinganya ke bibir Nabi. Ia
mengdengar Nabi memanggil-manggil, "Umatku...umatku..."
Dalam
memanggil-manggil inilah Nabi Wafat pada hari Isnin/Senin tanggal 12
bulan Rabi'ul Awal. Meledaklah tangis berkabung kesegenap penjuru.
Seorang Juru Selamat telah mangkat cintanya kepada umat dibawanya
hingga ke akhir hayat, dan akan dibawanya sampai ke Padang
Mahsyar.
Muhasabah cinta: Betapa ana selalu lupa akan
pengorbanan agung dirimu ya Rasulullah.. Astagfirullah Al-Azim..
maafkan ana ya Allah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar